Saya pribadi mempunyai beberapa pertanyaan yang menjanggal soal ilmu sejarah sejak saya pertama kali memperlajarinya, salah satunya yaitu mengenai penggunaan dari kosakata "prasejarah". namun karena dulu bagi saya hal ini sepele, maka saya tidak terlalu menjabarkannya. sampai pada saat, di bangku perkuliahan barulah saya benar-benar mengerti "kesalahan pada penggunaan satu kata pun dapat menyebabkan lumpuhnya satu kalimat".
Karena saat ini saya berada di jurusan Pendidikan Sejarah, otomatis saya mendapatkan mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia yang pada pertemuan awalnya membahas soal Zaman "Prasejarah". Dari diskusi dengan beberapa teman dan mengacu pada salah satu sumber yakni rangkuman silabus karangan dosen kami sendiri saya mendapatkan kesimpulan.
Kosakata "prasejarah" yang selama ini kita gunakan adalah salah. sebutan Zaman Prasejarah sangatlah tidak tepat jika ditinjau dari kehidupan manusia sebagai zone historicon (zona bersejarah). merujuk ke pengertian prasejarah itu sendiri (pra=sebelum) dan (sejarah=peristiwa masa lalu) yang artinya menjadi zaman sebelum peristiwa masa lalu atau peristiwa sebelum masa sejarah dimulai. jadi secara etimologi pengertian ini sangatlah tidak tepat. padahal yang kita ketahui selama ini pengertian zaman prasejarah adalah peristiwa masa lalu kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. perlu diketahui bahwa sejarah itu dimulai sudah sejak lama sekali, bukan hanya sejak manusia sudah mengenal tulisan.
Akan tetapi jika kita merujuk pada pengertian Zaman Nirleka, (nir=tidak) dan (leka=catatan/tulisan), maka sangatlah tepat untuk menyebutkan zaman kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. zaman ini juga sering disebut dengan Zaman Purba. maka biasakanlah menyebut zaman prasejarah menjadi zaman nirleka atau zaman purba, sehingga tidak menimbulkan kesalahan makna dan pengertian.
Namun saya masih sangat sering bahkan banyak menemui buku-buku khususnya buku sekolah yang masih menggunakan kosakata "prasejarah". mungkin karena mindset dari masyarakat yang tertanam sudah sejak lama sekali dan jutaan eksemplar buku bertemakan sejarah yang dicetak sehingga kebiasaan ini sulit sekali untuk diubah. atau kita menunggu perubahan kurikulum baru ? entahlah... yang jelas kita sebagai insan pendidikan haruslah lebih cermat, kritis, kreatif dan inovatif dalam menyerap ilmu pendidikan untuk kemajuan dan perkembangan pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar