Jumat, 17 Agustus 2012

Seseorang untuk Angga dari Ari dan Tari... Part 3

”Ma... pulangin Adis. Adis mau ke papa”
”kamu udah ribuan kali ngomong gitu ke mama Adis... mama capek dengernya. Toh mau kamu ngerengek-rengek minta balik ke Indonesia jutaan kali pun mama gak bakal ngabulin”
”tapi ma...”
”kamu tuh kenapa sih gak ngerti-ngerti. Kamu fikir mama ngelakuin ini semua buat apa, hah? Buat kebahagiaan kita dis. Buat kamu. Supaya kamu gak bener-bener jadi anak pengusaha bangkrut yang mendadak miskin, yang gak bisa sekolah, yang gak bisa beli apa-apa, yang ujung-ujungnya bunuh diri karna gak sanggup nanggung kemiskinan. Satu lagi, kamu tau mama dari kecil nggak pernah hidup susah, begitu juga kamu. jadi mama, gak mau dan gak akan pernah mau jatuh miskin Adis. Mama nggak sanggup” kemudian ibu muda itu pergi, pergi tanpa mendengar lagi jawaban anaknya, isi hati anak kesayangannya.
”kalo aja mama tau dimana letak kebahagiaan Adis yang sebenarnya ma” ucapnya lirih.
Kemudian sakit itu mulai terasa lagi, sakit di bagian dada yang memang sudah biasa dia rasakan sejak kecil. Namun belakangan ini semakin terasa menyakitkan. Sakit yang mungkin juga karna rindu yang begitu dalam pada dua orang, dua orang di kejauhan sana yang berjarak jutaan kilometer, jarak yang tak pernah bisa direngkuhnya.
@@@

”kakak mau bawa saya kemana?” tanya Tari lantang.
”diem lo, gak usah berisik. Makin lo berisik, makin gede kemungkinan gue buat nyakitin lo” bentak Vero.
Setelah hampir sejam perjalanan, mereka sampai di tempat tujuan. Tari pingsan, karena di jalan Vero membekapnya dengan sapu tangan yang sudah diberi cairan obat bius. Dari dalam rumah kosong tersebut muncul Angga yang nampak sedikit gelisah.
”lo apain?” tanya Angga penasaran.
“belom. Cuma gue bius aja. Dia gak bisa diem sih”
Kemudian Angga langsung memopong tubuh Tari masuk ke dalam rumah. ‘maafin gue Tar... tapi ini baru awal’ batin Angga.
“kerjain ver” perintah Angga.
“dengan senang hati” jawab Vero dengan senyum sinis.
Kemudian Angga mencari-cari handphonenya dan mulai mengontak seseorang. Setelah sambungan masuk.
”lo dimana?” tanya Angga langsung tanpa perlu basa-basi.
”ngapain lo nanya-nanya gue dimana? Sejak kapan lo belagak ngurusin gue?” jawab Ari nyolot.
”gue Cuma mau mastiin lo dimana. Soalnya yang gue tau lo nggak mungkin lagi sama Tari. Soalnya...” Angga menggantung kalimatnya ”soalnya... Tari lagi ada sama gue” sontak Ari terkejut. Apapun yang ada hubungannya dengan cowok lawan bicaranya satu ini, itu pasti malapetaka. Setidaknya itu yang selalu dirasakan Ari ketika berurusan dengan Angga.
”lo gak usah maen-maen”
“gue maen-maen? Sama lo? Ck . kita bukan anak SMP lagi ri. Jadi gak ada lagi istilah maen-maen”
“lo apain dia, hah?” tanya Ari tak sabar.
“gue apain? Emh, gak gue apa-apain. Paling gue sayang-sayang doang”
“brengsek lo. Beraninya maen cewek. Kalo lo berani, hadepin gue satu lawan satu. masalah lo sama gue, bukan sama Tari. Kalo sampe lo sentuh Tari sedikit aja, gue bersumpah, gue kejer lo kemana juga, gue bunuh lo pake tangan gue sendiri” emosi Ari kian meninggi. Tak dapat dibayangkannya satu hal buruk terjadi pada Tari karena cewek itu harus ikut menanggung masalahnya.
”tapi masalahnya lo sekarang gak bisa apa-apa Ri. Kalo nggak gini aja, lo tunggu, diem. Jangan ada yang tau lagi selain lo, gue, sama Vero. Lo tunggu kabar dari gue gimana ntar”
Ari terpana mendengar nama Vero. Jadi cewek satu itu juga termasuk dalam skenario rancangan Angga. Ari tidak tau pasti apa keterlibatan Vero dalam urusan satu ini, yang dia tau pasti cewek itu sangat membenci Tari. Dan kalau saja Tari berada di dalam genggamannya, Tari tentu dalam bahaya yang sangat besar. Dan Ari sadar, melawan dan nyolot di depan Angga pun sekarang tidak ada gunanya. Malah akan membuat cowok itu semakin frontal terhadap Tari. Maka diputuskannya untuk meredam emosinya sesaat.
”gue nggak ngerti apa yang lo mau dari gue. Tapi apapun itu, pastinya nggak lebih berharga dibanding Tari. Jadi, apapun itu yang lo pinta dari gue, pasti gue kasih ke lo. Asal lo jamin Tari nggak kenapa-napa” perkataan itu membuat dada Ari terasa sesak. Sakit. Merasa gagal menjaga mataharinya, Ari memutuskan untuk melawan Angga mati-matian nantinya. Kalaupun tidak bisa dengan cara itu, maka akan diberinya nyawanya sekalipun.
Angga menutup telfon dengan senyum penuh kemenangan. ’gue baru sadar sekarang Tar, seberapa berharganya lo untuk Ari’ batin Angga sambil menatap Tari yang masih pingsan.
@@@


Di tempat lain...
”non adis colaps lagi nyonya”
Yang diajak bicara hanya bisa tertunduk lesu.
”nyonya, maaf sebelumnya… tapi saya benar-benar harus bicara ini nyonya… kata dokter tadi penyakitnya ini sebenarnya tidak mematikan. Tapi akan sangat sering kambuh. Semakin jiwanya tertekan, maka penyakitkan akan semakin sering kambuh bahkan sampai colaps. Saya kira, nyonya tau pasti hal-hal apa yang membuat dia tertekan. Dia mau pulang. Sudah cukup 3 tahun nyonya. Sejak tuan Danu bangkrut, tuan dan nyonya bertengkar hebat kemudian bercerai, nyonya menikah dengan laki-laki lain dan pindah keluar negeri, memutus hubungan anak dengan ayah secara paksa padahal nyonya tau non Adis dengan tuan Danu sangat akrab. Disini pun nyonya sibuk membantu bisnis suami nyonya, pergi pagi pulang larut malam, bahkan tidak pulang sampai beberapa hari. Dia sekolah home schooling. Kalau sudah seperti itu darimana dia dapat teman nyonya? Darimana dia bisa memperoleh harapan untuk tertawa? Darimana dia bisa menemukan seseorang kalau ingin menumpahkan isi hatinya?” ibu tua itu berbicara dengan penuh tekanan, emosi yang tertahan, atas kesalahannya selama ini yang hanya diam. Karena tak sekalipun ia berani berbicara seperti ini kepada majikannya ini semenjak keikutsertaannya pindah atas permohonan majikan kecilnya yang tidak mau pergi kalau ia tidak diikutsertakan.
”tapi saya cuma punya dia bik, dia putri saya satu-satunya” kata-kata itu keluar tulus dari dalam hati, dengan raga yang tertunduk lesu, kemudian air mata itu menetes, berlinang begitu saja. Sesak sekali rasanya mengetahui keadaan bahwa ternyata ia telah menyakiti putri kandungnya sendiri, memenjarakan putri kandungnya sendiri, menentukan arah kemana putrinya harus pergi, dan membuat putrinya menjalani hidup tanpa pilihan.
”kalau saja nyonya mengizinkan dia untuk pergi. Dia tidak akan benar-benar pergi nyonya. Dia masih anak nyonya, nyonya bisa telfon dia kapan saja, menjenguk dia kapan saja”
@@@

”udah dua kali suntik Ga” terang Vero bangga.
”oke, cukup dulu lah ver. Waktu masih panjang ini”
”gue sih pengennya dia sampe mampus”
”gila lo. Inget komitmen kita ver, Cuma bikin sakit, nggak bikin mati”
”iya iya gue tau. Siapa juga yang mau masuk penjara. Ogah gue”
“nah itu lo tau. Makanya kita tetap di jalur sesuai rencana”
”hemm” jawab Vero malas-malasan.
@@@

Ari memacu mobilnya ugal-ugalan, pergi ke segala arah berharap menemukan petunjuk keberadaan Tari. Meskipun ia tau, Angga tidaklah begitu bodoh untuk membuat tempat sandera di pinggir jalan. Setelah 2 jam dilalui dengan begitu berat, penuh amarah dan emosi, penuh rasa bersalah karena merasa tidak becus menjaga orang yang sangat dia cintai. Ringtone tanda panggilan masuk di handphone Ari berbunyi dan memunculkan nomer yang tidak dia kenal. Dengan perasaan gugup Ari mengangkat telfon.
”halo”.
”halo, Ari? Ari ini tante, mamanya Tari. Ari tau Tari dimana? Udah 2 jam dari waktu pulang tapi Tari belum juga sampe rumah. Tante udah coba hubungi dia beberapa kali tapi handphonenya nggak aktif. Apa dia ada sama Ari? Kalo dia ada sama Ari tante lega, seenggaknya Tari aman” kata-kata yang begitu telak diucapkan mama Tari bahkan tanpa titik koma saking khawatirnya ia pada anak perempuannya. Ucapan kekhawatiran seorang ibu yang membuat Ari semakin hancur. Hancur sejadi-jadinya. Merasa telah menyobek kertas kepercayaan yang telah diberikan mama Tari kepadanya.
”iya tante... ini Ari... iya, Tari lagi ada sama Ari. Tadi handphonenya lowbat jadi gak bisa kabarin tante. Maaf ya tante. Tapi tante tenang aja, jangan khawatir, Tari pasti aman” ucap Ari dengan intonasi naik turun. Namun mama Tari tak sedikitpun curiga, dia percaya pada cowok satu ini dalam hal menjaga anaknya.
”yaudah, tante titip Tari yah Ri. Jangan pulang terlalu malam”
”iya, tante”
Telfon ditutup. Ari keluar memarkir mobil di pinggir jalan rerumputan. Menendang apa saja yang berada di dekatnya, ban mobil, bebatuan, kaleng bekas bahkan trotoar jalan. Tak lama kembali telfon masuk, kali ini dari Angga.
”brengsek lo. sengaja ngulur-ngulur waktu” sergah Ari langsung.
”tenang dong lo. gak sabaran banget”
”gue gak akan gini, kalo gue gak inget Tari lagi ada sama lo, brengsek”
”kita itu sama-sama orang jahat tau Ri. Jadi gak usah sok ngatain gue. Mending lo sekarang jemput Tari deh. Kasian tuh dia”
”kasian? lo apain dia hah?”
”makanya lo liat aja sendiri. Banyak tanya lo”
”posisi lo dimana sekarang?”
Kemudian Angga menyebutkan alamat dimana dia, Vero dan Tari berada. Setelah telfon ditutup Ari bergegas menuju tempat yang disebutkan Angga tadi.
@@@

”cepet juga lo” sambar Angga ketika dilihatnya Ari turun dari mobilnya.
”mana Tari?” tanya Ari tak sabar.
”masuk” perintah Angga.
Ari mengikuti langkah Angga. Setelah dia masuk, dilihatnya Vero beserta 7 orang berbadan kekar yang tampak seperti bodyguard yang membelakangi satu sosok, sosok yang menjadi puncak fikirannya. Tari. Gadis itu duduk tak sadarkan diri diatas bangku kayu, tangan dan kakinya terikat tali, dan ia masih mengenakan seragam sekolah. Tari tampak sangat pucat, diam seperti dibekukan.
”lo apain dia hah?” Ari seketika maju ingin memukul Angga, setelah ditarik oleh orang suruhan Angga dan dipukuli hingga jatuh. Ari bukannya tidak jago dalam hal berkelahi. Dia jagonya malah. Namun satu lawan tujuh memang tidak sepantasnya, untuk petinju terbaik dunia sekalipun, kecuali dalam sinetron-sinetron yang hiperbolis.
”dia Cuma dikasih Vero suntikan cairan dikit. Tuh suntikan gunanya buat ngelemahin kerja jaringan-jaringan saraf secara permanen. Jadi dia kayaknya udah gak bisa gerak lagi deh. Lo harusnya seneng Ri. Gue udah bantu lo nih. Jadi kan lo gak usah capek-capek lagi buat ngejer dia, soalnya dia gak mungkin lari lagi, gerak aja gak bisa”
Ari baru akan menggapai Angga, ketika lagi-lagi para bodyguard menghalangi langkahnya, bahkan kali ini pukulan mereka lebih frontal pada Ari.
”brengsek lo, cara lo manfaatin cewek norak, bego. Lo ingetin yaa, keluar dari sini lo bakal gue bunuh. Gue bunuh. Catet omongan gue. Sekarang cepet lo sebutin apa mau lo” ucap Ari dengan wajah yang sudah memar.
“mau gue cuma satu Ri. Gue cuma pengen lo denger cerita gue. Setelah lo denger cerita gue, gue bersumpah lo boleh bawa Tari pergi dari sini”
“cerita apaan? Lo gila? Gak usah becanda deh lo”
“gue serius, udah gue bilang. Kita bukan anak SMP lg Ri. Jadi nggak ada becanda-becandaan lagi” masih dengan nada santai.
“cepet bilang apa mau lo” ucap Ari lantang tak sabar.
”pertama... gue mau lo nginget satu nama...” Angga menggantung kalimatnya, karena mengucapkan nama ini, tak pernah mudah untuknya. Nama ini, bahkan disebut satu penggal saja bisa menyayat lagi hatinya yang telah rusak. Tapi dengan susah payah dilanjutkannya kalimat tersebut “Adisa Putri Kinanti”.
Ari terdiam. Nama itu. Ari berusaha mengingat mati-matian, Ari bukannya lupa, Ari ingat nama itu, namun hanya namanya, tidak orangnya. Dia bahkan hanya mengingat nama itu sebagai angin lalu, sebagai salah satu dari sekian banyak kenangannya. Dan nama itu termasuk golongan nama yang tidak spesial bagi Ari. Hanya sekedar pernah ada, namun hilang begitu saja termakan waktu.
”lupa kan lo”
”gue lagi nginget bego. Emang kenapa sih lo? nyolot banget pengen gue nginget siapa tuh orang” timpal Ari ’lo bahkan gak inget samasekali Ri’ batin Angga teriris.
”gue bantu. Lo inget temen SMP lo yang namanya Remi, yang bandelnya minta ampun itu?”
Ari mengangguk malas.
”si Remi itu dulu pernah ngerampas diary anak cewek kan, trus dia bacain kenceng banget di depan kelas sampe tuh cewek lari ke luar sekolah dan besok-besoknya dia nggak sekolah sampe 5 hari gara-gara malu. nah, nama yang gue sebutin tadi itu, nama tuh cewek” ungkap Angga. Belum sempat Ari menyambar omongan Angga.
”kak Ari” panggil Tari lirih.
”Tari” desis Ari.
”s..sakit banget kak” rintih Tari yang masih tertunduk. Tari benar-benar pucat, lemas, hanya diam. Suaranya pun parau. Membuat dada Ari semakin sesak.
”diemin dia Ver. Berisik banget”
”gak perlu lo omongin juga pasti gue diemin ga. Gue suka banget kalo liat ni cewek menderita” ucap Vero sambil menatap sinis pada Ari lalu berbalik ke Tari.
“dan lo diem Ri. Gue jamin ini suntikan terakhir, kalo lo bisa diem dan bicara seadanya sesuai perintah gue. Tapi kalo lo nyolot, persediaan cairan suntikan gue masih banyak tuh” Angga menunjuk beberapa botol kecil yang masih bersegel di atas meja. ‘maafin gue Tar’ batin Ari.
Vero menyuntik Tari kembali di tangan kirinya. Tari menjerit tanpa suara. Tanda bahwa dia sangat kesakitan. Ari hancur. Rasanya dia sangat ingin dibunuh saja untuk menggantikan posisi Tari.
“gue balik lagi ke cerita gue. Lo tau pasti kan isi diary cewek itu apa? Lo ikut denger kan pas temen lo si Remi itu ngebacain isi diary itu di depan kelas? Isi diary itu... Semua, 100% isinya... tentang lo. Hal sekecil apapun yang ada hubungannya sama lo selalu dia tulis dalem diary itu. Bahkan elo yang telat dateng kesekolah, elo yang dihukum lari keliling lapangan, elo yang kalo pas senyum keliatan manis, bahkan elo lagi bengong aja dia tulis di diary itu. Tapi lo nggak peduli gimana malunya dia waktu itu. Dia lari, lari sekenceng-kencengnya keluar dari sekolah, sampe tasnya pun ditinggal. Bahkan 5 hari sejak kejadian itu dia gak masuk sekolah karna gak mau nanggung malu diejek sama anak-anak. Lo tau? Gue yang bawain tasnya yang dia tinggal di kelas. Gue yang tiap hari datang ke rumahnya buat ngehibur, gue yang ngeyakinin dia buat masuk sekolah lagi. Tapi kejadian itu masih nggak ngebuat dia benci sama lo. Tapi gue tetep sabar, gue fikir apapun kejadiannya gue masih bisa jaga dia” kemudian Angga menghentikan cerita panjangnya.
”jadi karena itu? Karena itu lo selama ini benci banget sama gue? Itu yang ngebuat lo pengen banget ngancurin gue hah? Itu cerita anak SMP Ga. Kenapa lo bawa-bawa sampe sekarang” tanya Ari sinis.
”nggak sampe situ. Lo tau berapa kali kesalahan lo ke dia yang nggak lo sengaja tapi bener-bener nyakitin dia? Waktu itu bokapnya bangkrut, nyokapnya niat nikah lagi. Dia mau dibawa keluar negeri sama nyokapnya. Dia berontak mati-matian. Karna salah satu yang paling nggak pengen dia tinggalin disini selain bokapnya yaitu elo. Hari terakhir dia sekolah, dia ngarep banget lo mau ngasih seenggaknya satu senyuman terakhir buat dia. Tapi ternyata. Lo inget apa yang lo lakuin?”
Ari berfikir sejenak. Rasanya terakhir kali dia bertemu gadis itu...
”Ari”
”lo manggil gue?”
”iya”
“ada perlu apa?” tanya Ari malas.
“aku cuma mau kasih ini” kemudian gadis itu mengeluarkan sapu tangan berwarna jingga yang bertuliskan nama ‘Matahari Senja’ di bagian sudut kanan sapu tangan itu.
“buat apa?”
“kalo bisa, disimpen yah” kemudian gadis itu pergi dengan wajah sedih. Mengingat ini adalah hari terakhirnya melihat cowok ini.
Kemudian Ari berfikir lagi. Sapu tangan itu. Shit! Batinnya dalam hati. Sapu tangan itu dipinjam temannya, Remi. Dan oleh temannya itu digunakan untuk mengelap bola yang kotor terkena becek.
”asal lo tau, dari jauh dia ngeliatin Ri. Sapu tangan yang dia sulam sendiri, yang warnanya dia pilih sendiri dirusak seenaknya sama lo” Angga seperti bisa membaca fikiran Ari.
”bukan gue yang rusak...”
”tapi lo diem aja, bego. Lo nggak nyoba ngerebut sapu tangan itu kan. Karena lo emang dari awal nggak pernah ngehargain pemberian orang. Lo selalu nganggep remeh orang lain Ri. Lo tau? Setelah itu dia nangis, nangis parah banget. Gue gak tau nenanginnya pake apa. Gue bilang kalo gue janji bakal bales perlakuan lo ke dia, tapi apa? Yang ada malah dia bilang ke gue ‘Ga... tolong sekali aja lo beranggapan baik ke Ari yah’. dan lo tau? Setelah ngucapin kata-kata itu dia colaps. Dia itu sakit Ri. Sakit. Dia menderita karna itu. Dan lo, secara nggak langsung lo udah puluhan kali bikin penyakitnya kambuh” ucapan Angga kali ini benar-benar penuh emosi. Ditonjoknya Ari untuk sedikit meredam emosinya.
Ari hanya diam, meskipun merasa sakit. Dia tak sanggup mengeluarkan suara.
Ternyata ini. Ini yang membuat Angga begitu membencinya. Membuat Angga sangat ingin memburunya.
”lo ada hati ke tuh cewek?” tanya Ari singkat. Namun sangat telak bagi Angga. Dengan susah payah diberinya Ari alasan lain.
”dia sahabat gue. Dia yang ngewarnain hidup gue. Dia...” Angga tak mampu lagi melanjutkan kalimatnya.
”sekarang dia dimana?”
”udah dibilang dia pergi ke luar negeri” Jawab Angga tak sabar.
”elo yang bego, kenapa lo nggak kontak dia kalo emang lo khawatir hah?”
”lo fikir dia ninggalin sesuatu yang bisa buat gue ngubungin dia? dia pergi gitu aja, nggak kasih gue harapan buat setidaknya ketemu atau ngomong sama dia lagi suatu saat”
”tapi Tari nggak salah. Kenapa lo bales sakit hati lo ke dia. Kenapa lo nggak bales ke gue? Masalah lo sama gue, brengsek”
“lo juga nggak pernah nyakitin gue secara langsung kan? Jadi gue ngikutin cara lo, gue sakitin orang yang lo sayang. Karna lo... lo udah nyakitin orang yang gue sayang” Angga tertunduk. Kemudian.
“lepasin dia... biarin dia ngelawan gue” perintah Angga pada orang-orang yang berbadan tegap tadi. Sesaat Ari dilepaskan. Kemudian...
Bukk.
Satu pukulan keras melayang ke wajah Angga.
”kalo itu yang lo maksud. Gue paham. Gue minta maaf. Gue minta maaf banget sama lo. Tapi asal lo tau, nggak ada ampun buat orang yang udah nyakitin Tari”
Orang suruhan Angga sudah ingin turun tangan, namun Angga melarang ”kalian diem disitu, biarin dia muasin diri. Karna gue udah puas nyakitin Tari” omongan Angga barusan benar-benar membuat Ari mendidih.
Bukk. Satu pukulan lagi. ”ini buat Tari”
Bukk. Pukulan ke dua di dipipi kanan Angga. ”ini juga buat Tari”
Bukk. Pukulan ketiga tepat di hidung Angga yang kontan saja mengeluarkan darah ”ini... buat... Tari...”
Vero hanya diam. Diam membeku. Bagaimana kalau Ari juga berbuat sesuatu padanya. Kemudian Ari berjalan menuju Tari, dilewatinya saja Vero. Dia tidak peduli lagi akan apapun sekarang, Vero bisa diurusnya lain waktu, namun Tari... dia tidak bisa membayangkan kalau gadis ini tak tertolong.
Angga sendiri tetap tenang, karena sebenarnya tidak ada apa-apa dicairan itu, cairan itu cuma untuk membuat orang mati rasa dalam waktu yang singkat, bukannya seperti yang dikatakannya pada Ari barusan. Dia hanya ingin mendapatkan moment dimana Ari merasakan sakit yang benar-benar sakit saat dilihatnya gadis yang sangat dicintainya mengalami kepedihan. Persis seperti apa yang dirasakannya dulu.
”Tar... sabar yah. Gue bawa lo ke rumah sakit sekarang” Ari melepaskan semua ikatan tali di tubuh Tari. Dan menggendong Tari keluar menuju mobil. Ditinggalkannya saja Angga yang terluka parah karna hantamannya. Angga yang merasa sakit namun sedikit puas karna apa yang dijanjikannya slama ini sedikit demi sedikit terpenuhi. Bahwa dia akan membawa Ari kembali ke masa lalu, walaupun hanya dalam 5 menit.
@@@

”maafin Ari tante” ucap Ari lirih penuh dengan penyesalan. Saat-saat seperti inilah yang sangat dibencinya. Saat-saat dimana dia merasa benar-benar tidak berguna.
”sudah terjadi. Lagipula ini bukan salah kamu sepenuhnya Ri”
”tapi saya gagal jagain Tari tante, saya memang gak berguna” tangis Ari pecah. Tak sanggup ditahannya lagi air mata yang kian memadati kelopak matanya.
”tante percaya ini hanya sebagian kecil dari takdir kalian. Harus dijalani, kalau masih tetap ingin bersama”
Ari hanya diam.
Tak lama dokter yang memeriksa Tari keluar dari ruang yang menyimpan Tari di dalamnya.
”gimana dia dok?” tanya Ari tak sabar.
”sebenarnya itu cuma cairan peredam rasa sakit biasa. Biasanya digunakan untuk orang yang ingin meredam rasa sakit. Akan tetapi kalau digunakan oleh orang yang sedang tidak mengalami kesakitan, maka dampaknya orang itu akan mati rasa. Tapi ini tidak permanen, efeknya hanya akan bertahan sekitar 24 jam sejak cairan itu disuntikan” Ari lega, mama Tari lega, semua orang yang menunggu Tari dalam diam, dalam kecemasan sedari tadi kini sudah bisa menghembuskan nafas dengan teratur.
@@@

”hah? Serius bik, mama bilang gitu?” baru saja bangun dari colaps, Adis sudah menerima berita yang sangat dia tunggu, setidaknya sejak 3 tahun yang terasa panjang ini.
”iya sayang...” ucapan lembut itu berasal dari wanita yang tiba-tiba muncul dari daun pintu, kemudian wanita itu mendekat dan memeluk erat putrinya.
”mama minta maaf... maafin mama sayang... mama udah jahat sama kamu, selama 3 tahun ini mama nyaris bunuh kamu karna ego mama” ucapnya lirih disertai tangisan.
”ma... Adis nggak pernah nganggep mama salah, disini tuh nggak ada yang salah ma, mama, papa, nggak ada yang salah. Jalan kita udah kayak gini ma, takdir. Takdir ngebuat mama sama papa harus jalan masing-masing. Adis terima kenyataan mama sama papa jalan masing-masing, tapi Adis nggak mau kalo sampe kehilangan salah satu dari kalian” gadis ini pun menangis, namun ia tetap tenang karena gadis ini memang tipikal gadis lembut, tenang dan manis.
”tapi kamu janji walopun kamu tinggal sama papa, kamu harus sering-sering telfon mama yaa, mama juga bakal sering-sering kesana buat ngunjungin kamu” ucapnya lirih, terlihat jelas kesedihan di matanya.
”nggak ma... Adis nggak bakal tinggal sama papa. Adis emang mau pulang ke Indonesia, tapi bukan berarti Adis bakal sama papa sepenuhnya. Kalo mama ngizinin, Adis mau tinggal sama bibik aja di Jakarta” gadis ini sangat tau cara menjaga perasaan mamanya. Dengan tinggal bersama pembantunya di Jakarta, maka mamanya tidak akan merasa benar-benar kehilangan putrinya. Karna dengan seperti itu, setidaknya mamanya merasa imbang dengan papanya. Sama-sama tidak menguasai anaknya secara utuh.
”baiklah kalau itu yang kamu mau. Mama bakal beli rumah buat kamu sama bibik di Jakarta. Mama bakal daftarin kamu ke sekolah terbaik di sana, tapi bukan sekolah formal lagi. Kamu perlu banyak teman, jadi kamu bebas nentuin sekolah mana yang kamu pilih” penjelasan panjang lebar ini, yang sudah dia tunggu sejak lama.
”aku udah tau kok ma bakal masuk sekolah mana di Jakarta” kemudian gadis ini tersenyum, senyum yang begitu lepas. Senyum yang selama ini tidak pernah tampak, kini hadir kembali. Karena tidak lama lagi, akan dia dapatkan lagi orang itu, orang yang sudah ditinggalkannya 3 tahun yang lalu.
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar